Khotbah Lukas 15:11 - 24
Tema:Allah Adalah Bapa Yang Penuh Kasih
Pdt. Jusuf Hutapea
A. Pendahuluan :
Latar belakang penulis yang bernama Lukas adalah
seorang Yunani sehingga menuliskan Injil Lukas kepada orang-orang Yunani (orang
non Yahudi). Sebagai seorang Yunani dia sangat terkesan dengan kenyataan bahwa
Yesus adalah juruselamat yang universal (bukan hanya untuk orang Yahudi tetapi
untuk seluruh bangsa yang menerimaNya). Kerajaan Allah itu dapat dimiliki oleh
seluruh dunia, tidak dibatasi oleh daerah, budaya, bangsa tetapi menembus
segala batas-batas manusia (bdk. Luk. 1:51 – 53, 4: 18 – 19, 6: 20 - 26). Dalam
perikop ini dia memperlihatkan kasih Allah yang besar bagi mereka yang hilang.
Gambaran dari perikop Lukas 15 : 11 – 24 sering
disimpulkan oleh para theolog bahwa
gambaran ini adalah cerita tentang “anak yang hilang”, bahkan ini menjadi judul
perikop dalam Alkitab kita versi/terjemahan Lembaga Alkitab Indonesia (LAI).
Namun perlu kita ketahui bersama penekanan atau yang ditonjolkan dalam perikop
ini bukan tentang seorang anak yang hilang, tetapi merupkan suatu gambaran
tentang “Allah yang penuh kasih dan pengampunan”. Gambaran tentang Allah yang
menerima kembali dengan penuh kasih seseorang yang meninggalkan Dia seperti
seorang ayah yang menerima anaknya yang sudah lama hilang dan meninggalkan
rumah bahkan hidup berpoyah-poyah. Demikianlah Allah menerima setiap orang yang
hidup dalam dosa dan kemudian kembali kepada Allah. Maksud saya di sini penekanan kita bukan pada
“anak” namun pada “bapa”.
B. Penjelasan Nas
I. Hidup di dalam Dosa dan Berpoyah-poyah (ay. 11 – 13)
Dalam pengajaraNya Yesus tentang Kerajaan Allah Ia
memakai satu perumpamaan yang benar-benar bisa terjadi dalam kehidupan
sehari-hari dan mudah dipahami. Dilukiskan seorang ayah yang kaya memiliki dua
orang putera. Seorang anaknya ingin merantau dan meminta modal diperantauan.
Sebagai ahli waris kekayaan ayahnya maka dia berhak meminta bagiannya dan
menjadi haknya (biasanya seorang anak dapat/berhak meminta warisan atau haknya
walaupun ayahnya masih hidup, sesuai dengan permitaan si anak). Putra sulung
dapat menuntut dua pertiga (2/3) bagiannya dari kekayaan ayahnya; anak-anak
yang lain akan membagi sisanya sama rata (Ul. 21:17).
Dalam
ayat 12 anak bungsu meminta haknya, ia berkata “ayah berikanlah harta milik
kita yang menjadi hakku. Lalu ayahnya membagi harta kayaan itu”. Harta keyaan secara harafiah yang
dimaksud adalah kehidupan (Yunani: ton bion). Sebab harta kekayaan itu
sebagai sumber nafkah, jadi jika anak mau merantau (lebih cocok istilah batak: manjae) maka ayah wajib memberi ton bion (kehidupan). Setelah anak itu
mendapat kehidupan/harta kekayaan maka
dia pergi ke negeri yang jauh
(merantau/negeri orang) secara tersirat menjelaskan negeri yang jauh dimaksud
itu adalah “kota”. Konteksnya negeri yang jauh dim adalah kota Roma atau
Antiokhia. Pada masa Yesus banyak pemuda kaya yang pergi ke Roma atau Antiokhia
untuk berpoyah-poyah, menurut hemat saya yang dimaksud negeri yang jauh itu
adalah Roma dan Antiokhia. Kemudian di ayat 13 juga dikatakan si anak itu memboroskan harta miliknya dan berpoya-poya. Kata “memboroskan” dalam
Yunani adalah dieskorpisen dan
“berpoya-poya” adalah asostos. Keduan
istilah ini sebenarnya mengandung makna kata yang sama yaitu, menghambur-hamburkan. Si anak bungsu
menghamburkan seluruh harta miliknya. Setelah dia jauh dari ayahnya dia hidup
dalam dosa dan berpoyah-poyah, dia melupakan ayah dan keluarganya bahkan seluruh
kehidupan/sumber nafkahnya (modal) dihambur-hambukannya sampai habis.
II. Akibat Dari Berhura-hura Maka Hidup Melarat (ay. 14 – 16)
Kehidupan
anak bungsu yang berpoyah-poyah tidak dapat bertahan lama karena harta
kekayaannya habis. Dalam kondisi itu ia berhasil dapat pekerjaan, yaitu
memelihara ternak babi. Itu betul-betul suatu aib: seorang Yahudi dan dari
lingkungan orang kaya harus menjadi budak orang kafir dan menjaga babi yang
menurut adat Yahudi adalah najis dan haram. Walaupun demikian upahnya pun tidak
dijamin dan juga makanannya, sehingga dia harus memakan makanan ternak babi
itu. Benar-benar hidupnya telah melarat
diperantauan akibat dari hidup yang berhura-hura. Dia tidak merasakan lagi
kesenangan dan kebahagiaan, bahkan makanannya pun hanya makanan babi. Ternyata
keborosan telah menyeret dia ke dalam kehidupan yang sangat suram.
III. Menyadari Dosa, Bertobat dan Bangkit (17 – 19)
Kehidupan
yang semakin susah dan melarat itu akhirnya menyadarkan dia, dan kemudian ia
menyesal betapa besarnya penderitaannya ketika meninggalkan bapa. Setelah dia
menyadari kesusahannya lalu ia bertobat dan kemudian bangkit untuk kembali
kepada bapanya. Ia tahu bahwa ia telah hidup dalam dosa; “aku berdosa terhadap
sorga dan terhadap bapa”. Di ayat 19, si anak bungsu itu berkata “jadikanlah
aku sebagai salah seorang upahan bapa”. Perkataan ini mengindikasikan
permohonan dan adanya perubahan sikap secara total. Ketika pergi dia berkata
“berikan hakku...”, tetapi saat kembali “jadikan aku sebagai upahan...”.
Artinya dia kembali dalam penyesalan dan permohonan dengan rendah hati.
IV. Kasih Bapa Yang Penuh Pengampunan (20 – 24)
Ketika anaknya masih jauh, ayahnya telah
melihatnya. Ayahnya selalu menantikan kepulangan anaknya dan tidak melupakan
anaknya sekalipun telah diberikan haknya sebagai anak. Ayahnya tidak
mengharapkan harta yang diberikan dikembalikan, namun yang diharapakan adalah
anak itu menyadari kesalahanya dan kembali kepadanya. Demikian jugalah Allah
bagi kita, Allah hanya mengharapkan dari kita saat kita jauh dari Dia dan hidup
dalam dosa, kita datang kembali kepadaNya dan mengakuai dosa-dosa kita (1 Yoh.
1 : 9). Kita dapat memahami betapa bahagianya seorang ayah melihat anaknya
kembali, dia berlari dan merankulnya serta meciumnya. Betapa bahagianya juga
Allah jika seseorang yang sudah jauh meninggalkan Dia kembali kepadaNya.
Kemudian ayah itu memberikan jubah yang terbaik. Konteks Jahudi jubah terbaik
selalu dipersiapkan untuk tamu yang paling dihormati. Kemudian memasangkan
cicin ke tangan dan kaki anaknya. Cincin dipasang adalah tanda kedudukan
seorang anak yang kembali kepada keluarganya.
C. Renungan / Refleksi
Keadaan manusia yang jauh dari Allah sering
menyeret ke dalam kehidupan yang semakin sulit. Sekalipun kita akui pertama-tama kita merasakan
kepuasan dan kesenangan akibat dari kebebasan kita melakukan segala sesuatu.
Namun sejenak kita harus mengingat, kesenangan itu tidak akan pernah bertahan
lama. Karena akibat dari dosa-dosa yang kita lakukan (contoh konteksnya anak
bungsu ini karena berpoyah-poyah dan
hidup dalam hura-hura akibatnya dia harus hidup melarat dan mengalami
penderitaan akibat dari dosa dan perbuatannya sendiri). Kadang-kadang keinginan
daging dan dunia menawarkan kesenangan, namun itu merupakan hanya kesenangan
yang semu dan sesaat. Perumpamaan tentang anak yang meninggalkan bapa adalah
gambaran orang yang meninggalkan Tuhan akan terbentur dengan berbagai
persoalan.
Dari
perumpamaan ini kita dapat melihat bahwa di saat kita sudah semakin jauh dari
Bapa dan hidup kita semakin suram, ingatlah untuk berpaling, bangkit dan
kembalilah kepada Allah! Allah selalu setia dan penuh kasih menyambut orang
yang datang kembali kepadaNya. Untuk itu kita harus berani meninggalkan dan
melepaskan kenikmatan dunia, hedonisme dan nafsu yang menjerat hidup kita dan
mulailah menyadari, berpaling dan datang membawa totalitas kehidupan kita kepada
Tuhan. Sebab Allah sangat bersuka cita menyambut dan menerima kita dengan penuh
kasih saat kembali kepada-Nya. Dalam Yehezkiel 33 : 11 dicatat “Aku tidak
berkenan kepada kematian orang fasik, melainkan Aku berkenan kepada
pertobatannya supaya ia hidup”, juga dalam Mazmur 103 : 8, 13 dicatat “ TUHAN
adalah penuh kasih dan berlimpah kasih setia, seperti bapa sayang kepada
anak-anaknya demkianlah kasih sayang TUHAN bagi orang-orang yang takut akan
Dia”. Amin.

No comments:
Post a Comment