Search This Blog

Thursday, 18 October 2018

Khotbah Lukas 15: 11 - 24

Khotbah Lukas 15:11 - 24

Tema:Allah Adalah Bapa Yang Penuh Kasih
Pdt. Jusuf Hutapea

A. Pendahuluan :
       Latar belakang penulis yang bernama Lukas adalah seorang Yunani sehingga menuliskan Injil Lukas kepada orang-orang Yunani (orang non Yahudi). Sebagai seorang Yunani dia sangat terkesan dengan kenyataan bahwa Yesus adalah juruselamat yang universal (bukan hanya untuk orang Yahudi tetapi untuk seluruh bangsa yang menerimaNya). Kerajaan Allah itu dapat dimiliki oleh seluruh dunia, tidak dibatasi oleh daerah, budaya, bangsa tetapi menembus segala batas-batas manusia (bdk. Luk. 1:51 – 53, 4: 18 – 19, 6: 20 - 26). Dalam perikop ini dia memperlihatkan kasih Allah yang besar bagi mereka yang hilang.
         Gambaran dari perikop Lukas 15 : 11 – 24 sering disimpulkan oleh para theolog bahwa gambaran ini adalah cerita tentang “anak yang hilang”, bahkan ini menjadi judul perikop dalam Alkitab kita versi/terjemahan Lembaga Alkitab Indonesia (LAI). Namun perlu kita ketahui bersama penekanan atau yang ditonjolkan dalam perikop ini bukan tentang seorang anak yang hilang, tetapi merupkan suatu gambaran tentang “Allah yang penuh kasih dan pengampunan”. Gambaran tentang Allah yang menerima kembali dengan penuh kasih seseorang yang meninggalkan Dia seperti seorang ayah yang menerima anaknya yang sudah lama hilang dan meninggalkan rumah bahkan hidup berpoyah-poyah. Demikianlah Allah menerima setiap orang yang hidup dalam dosa dan kemudian kembali kepada Allah. Maksud saya di sini penekanan kita bukan pada “anak” namun pada “bapa”.

B. Penjelasan Nas
I. Hidup di dalam Dosa dan Berpoyah-poyah (ay. 11 – 13)
         Dalam pengajaraNya Yesus tentang Kerajaan Allah Ia memakai satu perumpamaan yang benar-benar bisa terjadi dalam kehidupan sehari-hari dan mudah dipahami. Dilukiskan seorang ayah yang kaya memiliki dua orang putera. Seorang anaknya ingin merantau dan meminta modal diperantauan. Sebagai ahli waris kekayaan ayahnya maka dia berhak meminta bagiannya dan menjadi haknya (biasanya seorang anak dapat/berhak meminta warisan atau haknya walaupun ayahnya masih hidup, sesuai dengan permitaan si anak). Putra sulung dapat menuntut dua pertiga (2/3) bagiannya dari kekayaan ayahnya; anak-anak yang lain akan membagi sisanya sama rata (Ul. 21:17).
         Dalam ayat 12 anak bungsu meminta haknya, ia berkata “ayah berikanlah harta milik kita yang menjadi hakku. Lalu ayahnya membagi harta kayaan itu”. Harta keyaan secara harafiah yang dimaksud adalah kehidupan (Yunani: ton bion). Sebab harta kekayaan itu sebagai sumber nafkah, jadi jika anak mau merantau (lebih cocok istilah batak: manjae) maka ayah wajib memberi ton bion (kehidupan). Setelah anak itu mendapat kehidupan/harta kekayaan maka dia pergi ke negeri yang jauh (merantau/negeri orang) secara tersirat menjelaskan negeri yang jauh dimaksud itu adalah “kota”. Konteksnya negeri yang jauh dim adalah kota Roma atau Antiokhia. Pada masa Yesus banyak pemuda kaya yang pergi ke Roma atau Antiokhia untuk berpoyah-poyah, menurut hemat saya yang dimaksud negeri yang jauh itu adalah Roma dan Antiokhia. Kemudian di ayat 13 juga dikatakan si anak itu memboroskan harta miliknya dan berpoya-poya. Kata “memboroskan” dalam Yunani adalah dieskorpisen dan “berpoya-poya” adalah asostos. Keduan istilah ini sebenarnya mengandung makna kata yang sama yaitu, menghambur-hamburkan. Si anak bungsu menghamburkan seluruh harta miliknya. Setelah dia jauh dari ayahnya dia hidup dalam dosa dan berpoyah-poyah, dia melupakan ayah dan keluarganya bahkan seluruh kehidupan/sumber nafkahnya (modal) dihambur-hambukannya sampai habis.

II. Akibat Dari Berhura-hura Maka Hidup Melarat (ay. 14 – 16)          
         Kehidupan anak bungsu yang berpoyah-poyah tidak dapat bertahan lama karena harta kekayaannya habis. Dalam kondisi itu ia berhasil dapat pekerjaan, yaitu memelihara ternak babi. Itu betul-betul suatu aib: seorang Yahudi dan dari lingkungan orang kaya harus menjadi budak orang kafir dan menjaga babi yang menurut adat Yahudi adalah najis dan haram. Walaupun demikian upahnya pun tidak dijamin dan juga makanannya, sehingga dia harus memakan makanan ternak babi itu.  Benar-benar hidupnya telah melarat diperantauan akibat dari hidup yang berhura-hura. Dia tidak merasakan lagi kesenangan dan kebahagiaan, bahkan makanannya pun hanya makanan babi. Ternyata keborosan telah menyeret dia ke dalam kehidupan yang sangat suram.
III. Menyadari Dosa, Bertobat dan Bangkit (17 – 19)
         Kehidupan yang semakin susah dan melarat itu akhirnya menyadarkan dia, dan kemudian ia menyesal betapa besarnya penderitaannya ketika meninggalkan bapa. Setelah dia menyadari kesusahannya lalu ia bertobat dan kemudian bangkit untuk kembali kepada bapanya. Ia tahu bahwa ia telah hidup dalam dosa; “aku berdosa terhadap sorga dan terhadap bapa”. Di ayat 19, si anak bungsu itu berkata “jadikanlah aku sebagai salah seorang upahan bapa”. Perkataan ini mengindikasikan permohonan dan adanya perubahan sikap secara total. Ketika pergi dia berkata “berikan hakku...”, tetapi saat kembali “jadikan aku sebagai upahan...”. Artinya dia kembali dalam penyesalan dan permohonan dengan rendah hati.
IV. Kasih Bapa Yang Penuh Pengampunan (20 – 24)
         Ketika anaknya masih jauh, ayahnya telah melihatnya. Ayahnya selalu menantikan kepulangan anaknya dan tidak melupakan anaknya sekalipun telah diberikan haknya sebagai anak. Ayahnya tidak mengharapkan harta yang diberikan dikembalikan, namun yang diharapakan adalah anak itu menyadari kesalahanya dan kembali kepadanya. Demikian jugalah Allah bagi kita, Allah hanya mengharapkan dari kita saat kita jauh dari Dia dan hidup dalam dosa, kita datang kembali kepadaNya dan mengakuai dosa-dosa kita (1 Yoh. 1 : 9). Kita dapat memahami betapa bahagianya seorang ayah melihat anaknya kembali, dia berlari dan merankulnya serta meciumnya. Betapa bahagianya juga Allah jika seseorang yang sudah jauh meninggalkan Dia kembali kepadaNya. Kemudian ayah itu memberikan jubah yang terbaik. Konteks Jahudi jubah terbaik selalu dipersiapkan untuk tamu yang paling dihormati. Kemudian memasangkan cicin ke tangan dan kaki anaknya. Cincin dipasang adalah tanda kedudukan seorang anak yang kembali kepada keluarganya.
  
C. Renungan / Refleksi
         Keadaan manusia yang jauh dari Allah sering menyeret ke dalam kehidupan yang semakin sulit. Sekalipun kita akui pertama-tama kita merasakan kepuasan dan kesenangan akibat dari kebebasan kita melakukan segala sesuatu. Namun sejenak kita harus mengingat, kesenangan itu tidak akan pernah bertahan lama. Karena akibat dari dosa-dosa yang kita lakukan (contoh konteksnya anak bungsu ini karena  berpoyah-poyah dan hidup dalam hura-hura akibatnya dia harus hidup melarat dan mengalami penderitaan akibat dari dosa dan perbuatannya sendiri). Kadang-kadang keinginan daging dan dunia menawarkan kesenangan, namun itu merupakan hanya kesenangan yang semu dan sesaat. Perumpamaan tentang anak yang meninggalkan bapa adalah gambaran orang yang meninggalkan Tuhan akan terbentur dengan berbagai persoalan.
            Dari perumpamaan ini kita dapat melihat bahwa di saat kita sudah semakin jauh dari Bapa dan hidup kita semakin suram, ingatlah untuk berpaling, bangkit dan kembalilah kepada Allah! Allah selalu setia dan penuh kasih menyambut orang yang datang kembali kepadaNya. Untuk itu kita harus berani meninggalkan dan melepaskan kenikmatan dunia, hedonisme dan nafsu yang menjerat hidup kita dan mulailah menyadari, berpaling dan datang membawa totalitas kehidupan kita kepada Tuhan. Sebab Allah sangat bersuka cita menyambut dan menerima kita dengan penuh kasih saat kembali kepada-Nya. Dalam Yehezkiel 33 : 11 dicatat “Aku tidak berkenan kepada kematian orang fasik, melainkan Aku berkenan kepada pertobatannya supaya ia hidup”, juga dalam Mazmur 103 : 8, 13 dicatat “ TUHAN adalah penuh kasih dan berlimpah kasih setia, seperti bapa sayang kepada anak-anaknya demkianlah kasih sayang TUHAN bagi orang-orang yang takut akan Dia”.  Amin.

No comments:

Post a Comment

Jagalah Hatimu